Kafe hantu, begitu Ai biasa menyebutnya.
Tempat nongkrong khas remaja yang letakknya tak jauh dari sekolahnya. Hanya
dengan jalan kaki 10 menit saja ke arah pusat kota. Tak ada yang tahu persis
mengapa kafe itu di sebut demikian. Mungkin karena bagunannya yang berdiri
tepat di bekas sebuah rumah sakit bersalin sehingga mengesankan angker. Ada pula
yang menyebutkan bekas klinik aborsi. Entahlah, keterangan siapa yang dapat
dipercaya? Bisa juga itu cuma karangan segelintir orang saja untuk menaikkan
pamornya. Bisa saja, kan?
Dan, nyatanya kafe itu memang cukup
laris.
Sebuah pesan masuk ke ponsel Ai—tepat 5
menit setelah berlalunya pelajaran akuntansi. Dari seorang teman. Melani.
“Ai, nanti malam ke kafe yuk.”
Tanpa disebut pun, Ai sudah
memahaminya, jika kafe yang di maksud adalah kafe hantu. Ah, Ai mendesah berat.
“Males ah! Lagi nggak ada duit nih”
katanya mengelak. Sebenarnya itu cuma alasannya saja. Yang sebenarnya, Ai
merasa merinding juga ada di sana. Bulan lalu, saat dia menghadiri ulang tahun
Rey--kali pertama--dia menginjakkan kaki ke sana bersama serombongan teman. Dia
sengaja duduk di pojokan sambil lesehan. Tanpa sadar, indra penglihatannya
menangkap sekelebat bayangan. Seorang wanita berjubah merah dengan menggendong
bayinya. Wajahnya pucat pasi. Mukanya rata. Rambut sebahunya yg acak-acakan dan
kumal menutupi sebagian wajahnya. Menatap sinis ke arah Ai, kemudian tersenyum
lebar menyeringai hingga gigi-giginya yang besar dan runcing jelas terlihat. Selanjutnya,
melayang menembus dinding. Dan, menghilang!
Ai merasakan tersedak. Makanan yang
ada di mulutnya tumpah berserakan di lantai. Seketika timbul perasaan mual dan
eneg, mengingat senyum wanita itu. Sapaan yang menggelikan dan juga menakutkan.
Dia palingkan wajahnya menjauh, menuju ke arah Rey—di bangku paling depan. Dia
sangat menikmati pestanya. Lalu Ve, Joe dan Rara juga. Mereka semua keihatan
bahagia. Hanya dia sendiri?
“Aku yang traktir Ai” kata Melani,
lagi!
Ai memilih mematikan ponselnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar